Rabu, 12 April 2017

Tata urutan adat Batak Toba # tata cara dalam upacara pemakaman pada suku Batak Toba

Tata cara  dalam Upacara Pemakaman Suku Batak Toba

Kematian. Satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan.  Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi.
Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini. Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia.  Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.
Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak memang beda dari kebanyakan suku yang ada di Indonesia. Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian.
Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meninggal dunia.
Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati:
1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu),
2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar),
3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon),
4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan
5. Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua).
Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah.
Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat Batak (Toba), karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua, hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/lunas.  Dalam masyarakat Batak, hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang itu lunas, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
Masyarakat Batak biasanya mengadakan acara seperti acara pernikahan, dengan menampilkan alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti menyembelih hewan, minum minuman tradisional seperti tuak. Alat musik organ digunakan di daerah perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera Utara, gondang sebagai alat musik khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata karena alat musik gondag yang sulit ditemukan di daerah perantauan. Untuk peyembelihan hewan, juga ada kekhasannya.
Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya simbol tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang meninggal dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan disembelih oleh keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang meninggal terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih, maka anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif, yang berarti anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana.
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah).
Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara, dsb.
Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari pihak isteri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas.
Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di tengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Di sebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan di sebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Di sinilah dimulai rangkaian upacara saur matua.  Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang).
Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa : juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara).
Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Selepas ritus pembagian jambar juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor). Tor-tor adalah tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat musik tradisional khas Batak).
Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan ke dalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya), ibadah singkat dilaksanakan (berdoa), barulah jenazah yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan.
Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.
Ini adalah bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba. Memang unik, tetapi itu nyata  Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa dan riuhnya pesta pakai musik, layaknya pesta pernikahan, hanya jika mendiang meninggal dalam status SAUR MATUA tadi. Ya, ini memang adatnya, kita tidak mungkin  menolak ataupun menentangnya.

Tata urutan adat Batak Toba # istilah kematian pada suku Batak Toba

Ada banyak istilah kematian yang berlaku pada adat suku Batak, diantaranya adalah :

Sari Matua
adalah istilah dimana seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada di antara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe).

Saur Matua
adalah istilah dimana seseorang yang ketika meninggal dunia dalam posisi “Titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru”. Tetapi sebagai umat beragama, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki seseorang. Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki atau hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya cucu

Mauli Bulung
adalah istilah dimana seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namar-nini, sahat tu namar-nono dan kemungkinan ke marondok-ondok (Seseorang yang beranak pinak, bercucu, bercicit mungkin hingga ke buyut). yang selama hayatnya, tak seorangpun dari antara keturunannya yang meninggal dunia (manjoloi). Dapat diprediksi, umur yang Mauli Bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas, ditinjau dari segi generasi. Mereka yang memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka.

Martilaha
Adalah istilah  yang artinya anak yang belum berumah tangga meninggal dunia

Mate Mangkar
Adalah istilah  yang dipergunakan untuk menyebut yang meninggal suami atau isteri, tetapi belum berketurunan

Matipul Ulu
Adalah istilah  yang dipergunakan untuk menyebut suami atau isteri meninggal dunia dengan anak yang masih kecil-kecil

Matompas Tataring
Adalah istilah  yang dipergunakan untuk menyebut  isteri meninggal lebih dahulu juga meninggalkan anak yang masih kecil.

Minggu, 09 April 2017

Tata urutan adat Batak Toba # tahapan pernikahan adat Batak Toba versi dua

TAHAPAN PERNIKAHAN ADAT BATAK TOBA
VERSI DUA

Paranakkon Hata
Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan). Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada ‘suruhan’ pihak laki-laki pada hari itu juga dan pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.

Marhusip
Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan).

Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya. Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru-tubu, dan dongan-sahuta.

Marhata Sinamot
Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta. Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman. Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.

Marpudun Saut
Dalam Marpudun saut sudah diputuskan: ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat.
Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam Paranak Hata, Marhusip, dan marhata sinamot. Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun (disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat.
Setelah semua itu diputuskan dan disahkan oleh pihak paranak dan parboru, maka tahap selanjutnya adalah menyerahkan bohi ni sinamot (uang muka maskawin) kepada parboru sesuai dengan yang dibicarakan. Setelah bohi ni sinamot sampai kepada parboru, barulah diadakan makan bersama dan padalan jambar (pembagian jambar).
Dalam marpudun saut tidak ada pembicaraan tawar-menawar sinamot, karena langsung diberitahukan kepada hadirin, kemudian parsinabung parboru mengambil alih pembicaraan. Pariban adalah pihak pertama yang diberi kesempatan untuk berbicara, disusul oleh simandokkon, pamarai, dan terkahir oleh Tulang.
Setelah selesai pembicaraan dengan si jalo todoan maka keputusan parboru sudah selesai; selanjutnya keputusan itu disampaikan kepada paranak untuk melaksanakan penyerahan bohi ni sinamot dan bohi ni sijalo todoan. Sisanya akan diserahkan pada puncak acara, yakni pada saat upacara perkawinan nanti.

Unjuk
Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan.
Berikut adalah tata geraknya:

Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk. Mengenai tempat duduk di dalam upacara perkawinan diuraikan dalam Dalihan Na Tolu.

Mempersiapkan makanan:
Paranak memberikan Na Margoar Ni Sipanganon dari parjuhut horbo.
Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas)
Doa makan
Membagikan Jambar

Marhata adat
Yang terdiri dari tanggapan oleh parsinabung ni paranak; dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru; tanggapan parsinabung ni paranak, dan tanggapan parsinabung ni parboru.

Pasahat sinamot dan todoan,
Mangulosi dan Padalan Olopolop.
Tangiang Parujungan
Doa penutup pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.

Demikian tata cara upacara pernikahan adat Batak Toba, yang merupakan versi sederhananya, namun bisa juga lain dari dari yang ini, karena memang dinamika perubahan adat selalu akan mengikuti perkembangan yang terjadi namun masih mengacu pada hal-hal yang pokok (lihat versi satu).

Tata urutan adat Batak Toba # tahapan pernikahan adat Batak Toba versi satu

TAHAPAN PERNIKAHAN ADAT BATAK TOBA
VERSI SATU

Adapun tahapan-tahapan  adat Batak dalam pernikahan yang disebut dengan adat na gok, yaitu pernikahan orang Batak secara normal berdasarkan ketentuan adat terdahulu seperti tahap-tahap berikut ini:

1. MANGARIRIT
Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga langsung setelah acara adat ditempat acara adat dilakukan, yang mereka namakan “Ulaon Sadari”.

2. MANGALEHON TANDA
Mangalehon tanda maknanya mengasih tanda apabila laki-laki telah menemukan perempuan sebagai calon istrinya, kemudian keduanya saling memberikan tanda. Laki-laki biasanya mengasih uang kepada perempuan sedangkan perempuan menyerahkan kain sarung kepada laki-laki, setelah itu maka laki-laki dan perempuan tersebut telah terikat satu sama lain. Laki-laki lalu memberitahukan hal tersebut kepada orang tuanya, orang tua laki-laki akan menyuruh prantara atau domu-domu yang telah mengikat janji dengan putrinya.

3. MARHORI-HORI DINDING ATAU MARHUSIP
Marhusip artinya berbisik, tetapi arti dalam tulisan ini yaitu pembicaran yang bersifat tertutup atau bisa juga disebut pembicaraan atau perundingan antara utusan keluarga calon pengantin laki-laki dengan wakil pihak orang tua calon pengantin perempuan, mengenai mas kawin yang harus di siapkan oleh pihak laki-laki yang akan diberikan kepada pihak perempuan. Hasil-hasil pembicaraan marhusip belum perlu diketahui oleh umum karena untuk menjaga adanya kemungkinan kegagalan dalam mencapai kata sepakat. Marhusip biasanya dilaksanakan di rumah perempuan. Domu-domu calon pengantin laki-laki akan menerangkan tujuan kedatangan mereka pada keluarga calon pengantin perempuan.

4. MARTUMPOL (BACA : MARTUPPOL)
Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga sebagai acara pertunangan tetapi secara harafiah martupol merupakan acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat gereja diikat dalam janji untuk melangsungkan pernikahan. Upacara adat ini diikuti oleh orang tua kedua calon pengantin dan keluarga mereka beserta para undangan yang biasanya diadakan di dalam gereja, karena yang mengadakan acara martumpol ini kebanyakan adalah masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen.

5. MARHATA SINAMOT
Marhata sinamot biasanya diselenggarakan setelah  selesai membagikan jambar. Marhata sinamot adalah membicarakan berapa jumlah sinamot dari pihak laki-laki, hewan apa yang di sembelih, berapa banyak ulos, berapa banyak undangan dan dimana dilaksanakan upacara pernikahan tersebut. Adat marhata sinamot bisa juga dianggap sebagai perkenalan resmi antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan. Mas kawin yang diserahkan pihak laki-laki biasanya berupa uang sesuai jumlah mas kawin tersebut di tentukan lewat tawar-menawar.

6. MARTONGGO RAJA ATAU MARIA RAJA
Martonggo raja merupakan suatu kegiatan pra upacara adat yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara yang bertujuan untuk mempersiapkan kepentingan pesta yang bersifat teknis dan non teknis. Pada adat ini biasanya dihadiri oleh teman satu kampung, dongan tubu (saudara). Pihak hasuhuton (tuan rumah) memohon izin kepada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta (teman sekampung) untuk membantu mempersiapkan dan menggunakan fasilitas umum pada upacara adat yang sudah direncanakan.

7. MANJALO PASU-PASU PARBAGASON (PEMBERKATAN PERNIKAHAN)
Pemberkatan pernikahan kedua pengantin dilaksanakan di Gereja oleh Pendeta. Setelah pemberkatan pernikahan selesai, maka kedua penagntin telah sah menjadi suami istri menurut gereja. Setelah pemberkatan dari Gereja selesai, lalu kedua belah pihak pulang ke rumah untuk mengadakan upacara adat Batak dimana acara ini dihadiri oleh seluruh undangan dari pihak laki-laki dan perempuan.

8. ULAON UNJUK (PESTA ADAT)
Setelah selesai pemberkatan dari Gereja, kedua pengantin juga menerima pemberkatan dari adat yaitu dari seluruh keluarga khususnya kedua orang tua. Dalam upacara adat inilah disampaikan doa-doa untuk kedua pengantin yang diwakili dengan pemberian ulos. Selanjutnya dilaksanakan pembagian jambar (jatah) berupa daging dan juga uang yaitu: Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak perempuan adalah jambar juhut (daging) dan jambar tuhor ni boru (uang) dibagi sesuai peraturan. Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak pria adalah dengke (baca : dekke/ ikan mas arsik) dan ulos yang dibagi sesuai peraturan. Pesta Adat Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.

9. MANGIHUT DI AMPANG ATAU DIALAP JUAL
Dialap Jual artinya jika pesta pernikahan diselenggarakan di rumah pengantin perempuan, maka dilaksanakanlah acara membawa penagntin perempuan ke tempat mempelai laki-laki.

10. DITARUHON JUAL
Jika pesta pernikahan diselenggarakan di rumah pengantin laki-laki, maka penagntin perempuan dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namboru-nya ke tempat namboru-nya. Dalam hal ini paranak wajib mengasih upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak diberlakukan.

11. PAULAK UNE
Adat ini dimasukkan sebagai langkah untuk kedua belah pihak bebas saling kunjung mengunjungi setelah beberapa hari berselang upacara pernikahan yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara pernikahan. Pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin mengunjungi rumah pihak orang tua pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa putrinnya betah tinggal di rumah mertuanya.

12. MANJAE
Setelah beberapa lama pengantin laki-laki dan perempuan menjalani hidup berumah tangga (kalau laki-laki tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian. Biasanya kalau anak paling bungsu mewarisi rumah orang tuanya.

13. MANINGKIR TANGGA (BACA: MANIKKIR TANGGA)
Setelah pengantin manjae atau tinggal di rumah mereka. Orang tua beserta keluarga pengantin datang untuk mengunjungi rumah mereka dan diadakan makan bersama.

Demikian tata cara upacara pernikahan adat Batak Toba, namun akhir-akhir ini tidak semua lagi urutan ini dilaksanakan seperti semula, terutama orang-orang Batak yang berada diperantauan. Beberapa telah dibuat menjadi lebih sederhanakan ( lihat versi ke-2).

Kamis, 06 April 2017

Tata urutan adat Batak Toba # simbol-simbol dalam acara pernikahan suku Batak

Simbol-simbol dalam acara pernikahan

Kompleksitas upacara perkawinan adat Batak Toba meliputi peran subyek dan objek yang terlibat di dalamnya. Kompleksitas upacara perkawinan dapat dijelaskan dalam 5 (lima) pokok permasalahan: dua jenis yang berbeda, garis keturunan, keluarga, suku, dan tempat tinggal.

Uniknya, dalam ritus perkawinan adat Batak Toba, selain kedua mempelai juga dilibatkan seluruh perangkat masyarakat. Perbedaannya, peran-peran dalam rangkaian upacara perkawinan adat Batak Toba selalu terkait dengan tiga kedudukan utama dalam adat: dongan-sabutuha / dongan-tubu, hulahula, dan boru (konsep DALIHAN NATOLU ).

Simbolis pernikahan

Pernikahan adalah suatu hal yang sakral dan penting dalam kehidupan dua insan yang bertukar ikrar, termasuk keluarga mereka yang akan menyatu melalui kedua mempelai. Saat memutuskan untuk mengarungi kehidupan pernikahan, umumnya, kedua orangtua mempelai akan menyematkan harap untuk kedua mempelai. Setiap suku memiliki adat dan kebiasaan masing-masing. Tak terkecuali dalam adat Batak. Dalam pernikahan adat Batak, ada banyak tata aturan dan simbol. Dalam simbol-simbol tersebut, tersemat harap dan doa dari keluarga, kerabat, dan handai taulan.

“Dalam prosesi perkawinan Batak diusahakan untuk memperlihatkan simbol yang disajikan secara artistik dengan perpaduan unsur seni gorga Batak, seni tenun Ulos Batak, seni vokal, seni gerak tari, dan perangkat-perangkat perkawinan Batak.”

Dalam prosesi pernikahan budaya Batak, ada beberapa simbol yang dipergunakan. Berikut adalah beberapa hal umum di antaranya:

Tunggal Panuluan
Merupakan tongkat pusaka yang biasa dipakai saat Martonggo berdoa untuk memohon berkat kepada Sang Khalik.

Ampang Jual Sibuhai-buhai
Merupakan hantaran keluarga dari mempelai lelaki pada saat menjemput mempelai wanita. Didalamnya terdapat makanan adat yang akan dimakan bersama oleh keluarga mempelai wanita dan keluarga mempelai laki-laki (Suhut Bolon) sebelum acara besar adat dimulai.

Tandok Boras Sipirnitondi
Merupakan simbol yang dibawa oleh pihak hula-hula (keluarga mempelai perempuan) dalam sistem kekerabatan Dalihan Natolu Batak. Golongan hula-hula adalah golongan yang diberi kedudukan terhormat, saluran berkat kepada keluarga Boru (mempelai laki-laki).
Golongan yang lain dalam Dalihan Natolu adalah Dongan Sabutuha dan Boru. Boras sipirnitondi artinya adalah beras restu. Biasanya dibawa oleh penari, ditaruh di atas kepala dalam sebuah wadah dari rajutan jerami.

Pinggan Pasu Panungkunan
Piring adat untuk memulai pembicaraan adat perkawinan Batak yang disampaikan juru bicara (raja parhata) keluarga mempelai wanita, berisi beras, sirih, dan uang 4 lembar.

Ulos Hela (Ulos mempelai laki-laki)
Simbol perkawinan Batak yang paling tinggi nilainya. Diselimutkan oleh orangtua mempelai wanita kepada kedua mempelai pada saat acara berlangsung. “Saat pemberiannya pun tidak boleh sembarangan. Tangan yang memberikan harus bersentuhan dengan yang diberikan. Sebagai restu dan hangat orangtua kepada keduanya. Ulosnya disatukan tepat ditengah-tengah, di depan kedua mempelai,” jelas Ibu Martha kepada Kompas Female. Pada prosesinya, Ayah yang akan menyelimutkan ulos ini akan berkata-kata dan memberikan wejangan kepada kedua mempelai, menjelaskan makna dari ulos tersebut.

Tempat Sirih Bermote
Biasanya, sebelum upacara dimulai, keluarga mempelai wanita menawarkan Sekapur Sirih kepada keluarga mempelai laki-laki. Pada acara pertunjukkan tersebut, terdapat beberapa tarian yang mengiringi prosesi, diiringi lagu-lagu tradisional. Prosesi semacam ini biasanya sudah dimodifikasi dan dipersingkat. Dalam prosesi adat semacam ini, terlihat betapa melepaskan anak dalam pernikahan adalah hal yang cukup penting. Lewat tari-tarian, prosesi, dan simbol-simbol, terlihat hal tersebut.

Demikian simbol  yang utama dalam suatu acara pernikahan dalam adat batak toba.

Tata urutan adat Batak Toba # nilai-nilai suatu pernikahan pada suku Batak



Kesepakatan pada nilai-nilai sosial adalah dasar yang penting untuk banyak kelompok, terutama dalam pernikahan. Setiap pasangan pengantin memiliki nilai-nilai budaya sendiri, hal-hal yang dianggap penting oleh masing-masing pihak.

Sedikit sekali hal tersebut disepakati secara lengkap. Setiap pasangan bisa berbeda keinginannya dalam menentukan hal-hal seperti pengaturan keuangan, hiburan, memperlihatkan kasih sayang.

Nilai-nilai sosial terdiri dari berbagai pola-pola tingkah laku yang luas. Suatu nilai yang penting adalah pernikahan itu sendiri. Pada dasarnya, sikap terhadap pernikahan seperti suatu nilai yang sering menjadi faktor penentu dalam keberhasilan pernikahan.

Bagi kebanyakan orang, pernikahan adalah nilai tunggal mereka paling penting. Mereka akan berbuat segalanya yang bisa mereka lakukan untuk menyesuaikan secara memuaskan.

Pada suku Batak Toba, pernikahan adalah suatu peristiwa yang besar, mengundang hulahula, boru, dongan tubu serta dongan sahuta (teman sekampung) sebagai saksi pelaksanan adat yang berlaku.

Dalam adat Batak Toba pernikahan harus diresmikan secara adat berdasarkan adat dalihan na tolu, yaitu Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.

Pernikahan di masyarakat Batak Toba sangat kuat sehingga susah untuk bercerai karena dalam pernikahan tersebut banyak orang yang bertanggung jawab  dan terlibat di dalamnya.