Kepercayaan asli orang batak
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah ‘dewa-dewa’. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.
Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal tiga konsep,yaitu Tondi, sahala dan begu.Tondi itu adalah jiwa atau roh orang itu sendiri dan sekaligus juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.Bedanya dengan tondi ialah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga berbeda-beda.Sahala dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang.Berkurangnya sahala menyebabkan seseorang kurang disegani, atau ke- datuannya menjadi hilang. Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam rahim ibunya dan demikian pula sahala atau sumangat (Karo). Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya.Seperti halnya dengan sahala ,yang dapat berkurang atau bertambah,tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan untuk sementara, maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya,orang itu mati. Keluarnya tondi dari badan disebabkan karena ada kekuatan lain(sambaon) yang menawannya. Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya,yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan begu pada malam hari. Orang batak mengenal begu yang baik dan yang jahat.Sesuai dengan kebutuhannya,begu di puja dengan sajian (pelean).
Di kalangan orang batak toba,begu yang terpenting ialah sumangot ni ompu(begu dari nenek moyang). Di kalangan orang Batak Karo dikenal adanya beberapa macam begu, ialah:
1. Batara guru atau begu parkakun jabu
2. Bicara guru
3. Begu mate sada wari
4. Mate kayat-kayaten
Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang batak toba juga percaya kepada kekuatan sakti dari jimat, tongkat wasiat, atau tunggal panaluandan kepada mantra-mantra yang mengandung kekuatan sakti.Semua kekuatan itu menurut kitab-kitab ilmu gaib orang batak toba(pustaha),berasal dari si Raja Batak.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah ‘Debata’, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut ‘Ompu Na Bolon’ (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa ‘Ompu Nabolon’ ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi ‘Mula Jadi Nabolon’ atau ‘Tuan Mula Jadi Nabolon’. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (=jamak) sehingga menjadi ‘Debata Mula Jadi Nabolon’.
Jadi jelaslah, istilah debata pada awalnya hanya dipakai untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan dewa. Dapat juga dilihat pada tokoh-tokoh kepercayaan Batak lainnya yang dianggap sebagai dewa mendapat penambahan kata ‘Debata’ di depan nama pribadi yang disembah. Misalnya Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Asi-Asi, Debata Natarida (Tulang atau paman dan orang tua), dll. Tetapi setelah masuknya Kekristenan (yang pada awalnya hanya sebatas strategi pelayanan) kata debata semakin populer karena nama debata dijadikan sebagai nama pribadi Maha Pencipta.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau istilah debata berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengalami penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit. Dan jelaslah bahwa setiap huruf w dalam bahasa Sansekerta (India) kalau dimasukkan ke dalam bahasa Batak akan berganti menjadi huruf b atau huruf lainnya. Wajar saja kalau Dewata dalam bahasa Sansekerta setelah masuk ke dalam bahasa Batak berganti menjadi Debata. Istilah ‘Dewata’ inilah yang membunglon ke dalam bahasa Simalungun menjadi ‘Naibata’ dan di daerah Karo menjadi ‘Dibata’ yang artinya tetap sama menjadi ‘dewa’.
Dan ada juga yang disebut dengan mitologi, mitologi bukan merupakan sebuah legenda belaka untuk suku Batak, tetapi juga sangat mempengaruhi Sistem adat-istiadat Batak, bahkan masih mempengaruhi cara berpikir suku Batak sampai masa kini, antara lain tentang pendapat, bahwa manusia tidak mampu menentukan nasibnya sendiri, sekalipun dia sangat menginginkannya.Memang benar, bahwa masing-masing anak-suku (puak) mempunyai mitologi sendiri-sendiri tentang asal mula orang Batak, tetapi pada pokoknya semua Mitologi itu sama dan berkisar pada lahirnya Si Raja Batak yang menjadi nenek moyang semua orang Batak.
Menurut Mitologi Batak, tempat asal suku Batak adalah gunung Pusuk Buhit yang terletak di sebelah Barat Laut Danau Toba. Pada umumnya, teknik penceritaan zaman dulu yang menggunakan cara lisan yang dilakukan dari mulut ke mulut bisa dikatakan mengalami perubahan dari waktu kewaktu , karena ada beberapa versi yang berkembang, hal ini terbukti dengan banyak cerita dan dongeng yang beredar di kalangan suku batak sampai saat ini.
Menurut Warneck, hampir semua suku (marga) memiliki dongeng, yang satu sama lain sama sekali tidak mempunyai persamaan.Untuk memperoleh gambaran mengenai pola pemikiran tentang terjadinya suku Batak menurut dongeng-dongeng yang dikenal secara luas, berikut ini disajikan salah satu dongeng.
Dalam Mitologi Batak burung layang-layang, berkedudukan seperti kurir atau penghubung antara penghuni langit dengan bumi. Suatu ketika, burung itu di panggil oleh Mulajadi Na Balon, sang Awal Yang Maha Besar yang berkuasa atas segala yang ada, untuk mengantarkan sebuah lodong (poting, bamboo tabung air) berisi benih kepada Boru Deak-Parujar, putri seorang dewa yang berada di bumi. Setelah burung itu tiba di tmpat Boru Deak, dia berkata : “Boru Deak-Parujar, tenunlah sehelai ulos ragidup (kain adat Batak), kemudian lilitkan ulos itu pada lodong itu lalu bukalah tutup nya. “Setelah Boru Deak-Parujar menenun sehelai ulos, dia melilitkan pada lodong itu kemudian dia buka tutupnyadan dari dalamnya meloncatlah keluar seorang pria. Dialah yang disebut Tuan Mulana (yang awal). Boru Deak menempatkan pria itu disebuah daerah yang terang, lalu dia menyuruh burung itu kembali kepada Mulajadi Na Bolon untuk menyampaikan pertanyaan Boru Deak yang oleh Mulajadi dijawab, “Boru Deak sendirilah yang akan menjadi teman hidupnya !” Dan mulai saat itu Boru Deak-Parujar menjadi seorang manusia seperti Tuan Mulana. Merekalah yang menjadi nenek-moyang Orang Batak di atas dunia ini.
Dari cerita tersebut dapat disimpulkan, bahwa suku Batak di zaman keberhalaan sudah percaya pada Tuhan Yang Esa, yang disebut Mulajadi Na Bolon, yang menjadi awal dari segala yang ada; Dialah Yang Mahatinggi, Tuhan yang oleh suku Batak di percaya sebagai Tuhan dari segala ilahi yang menjadikan langit, bumi dan segala isinya, yang secara terus-menerus memelihara hidup ini.
Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah ‘dewa-dewa’. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.
Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal tiga konsep,yaitu Tondi, sahala dan begu.Tondi itu adalah jiwa atau roh orang itu sendiri dan sekaligus juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.Bedanya dengan tondi ialah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga berbeda-beda.Sahala dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang.Berkurangnya sahala menyebabkan seseorang kurang disegani, atau ke- datuannya menjadi hilang. Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam rahim ibunya dan demikian pula sahala atau sumangat (Karo). Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya.Seperti halnya dengan sahala ,yang dapat berkurang atau bertambah,tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan untuk sementara, maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya,orang itu mati. Keluarnya tondi dari badan disebabkan karena ada kekuatan lain(sambaon) yang menawannya. Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya,yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan begu pada malam hari. Orang batak mengenal begu yang baik dan yang jahat.Sesuai dengan kebutuhannya,begu di puja dengan sajian (pelean).
Di kalangan orang batak toba,begu yang terpenting ialah sumangot ni ompu(begu dari nenek moyang). Di kalangan orang Batak Karo dikenal adanya beberapa macam begu, ialah:
1. Batara guru atau begu parkakun jabu
2. Bicara guru
3. Begu mate sada wari
4. Mate kayat-kayaten
Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang batak toba juga percaya kepada kekuatan sakti dari jimat, tongkat wasiat, atau tunggal panaluandan kepada mantra-mantra yang mengandung kekuatan sakti.Semua kekuatan itu menurut kitab-kitab ilmu gaib orang batak toba(pustaha),berasal dari si Raja Batak.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah ‘Debata’, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut ‘Ompu Na Bolon’ (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa ‘Ompu Nabolon’ ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi ‘Mula Jadi Nabolon’ atau ‘Tuan Mula Jadi Nabolon’. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (=jamak) sehingga menjadi ‘Debata Mula Jadi Nabolon’.
Jadi jelaslah, istilah debata pada awalnya hanya dipakai untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan dewa. Dapat juga dilihat pada tokoh-tokoh kepercayaan Batak lainnya yang dianggap sebagai dewa mendapat penambahan kata ‘Debata’ di depan nama pribadi yang disembah. Misalnya Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Asi-Asi, Debata Natarida (Tulang atau paman dan orang tua), dll. Tetapi setelah masuknya Kekristenan (yang pada awalnya hanya sebatas strategi pelayanan) kata debata semakin populer karena nama debata dijadikan sebagai nama pribadi Maha Pencipta.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau istilah debata berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengalami penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit. Dan jelaslah bahwa setiap huruf w dalam bahasa Sansekerta (India) kalau dimasukkan ke dalam bahasa Batak akan berganti menjadi huruf b atau huruf lainnya. Wajar saja kalau Dewata dalam bahasa Sansekerta setelah masuk ke dalam bahasa Batak berganti menjadi Debata. Istilah ‘Dewata’ inilah yang membunglon ke dalam bahasa Simalungun menjadi ‘Naibata’ dan di daerah Karo menjadi ‘Dibata’ yang artinya tetap sama menjadi ‘dewa’.
Dan ada juga yang disebut dengan mitologi, mitologi bukan merupakan sebuah legenda belaka untuk suku Batak, tetapi juga sangat mempengaruhi Sistem adat-istiadat Batak, bahkan masih mempengaruhi cara berpikir suku Batak sampai masa kini, antara lain tentang pendapat, bahwa manusia tidak mampu menentukan nasibnya sendiri, sekalipun dia sangat menginginkannya.Memang benar, bahwa masing-masing anak-suku (puak) mempunyai mitologi sendiri-sendiri tentang asal mula orang Batak, tetapi pada pokoknya semua Mitologi itu sama dan berkisar pada lahirnya Si Raja Batak yang menjadi nenek moyang semua orang Batak.
Menurut Mitologi Batak, tempat asal suku Batak adalah gunung Pusuk Buhit yang terletak di sebelah Barat Laut Danau Toba. Pada umumnya, teknik penceritaan zaman dulu yang menggunakan cara lisan yang dilakukan dari mulut ke mulut bisa dikatakan mengalami perubahan dari waktu kewaktu , karena ada beberapa versi yang berkembang, hal ini terbukti dengan banyak cerita dan dongeng yang beredar di kalangan suku batak sampai saat ini.
Menurut Warneck, hampir semua suku (marga) memiliki dongeng, yang satu sama lain sama sekali tidak mempunyai persamaan.Untuk memperoleh gambaran mengenai pola pemikiran tentang terjadinya suku Batak menurut dongeng-dongeng yang dikenal secara luas, berikut ini disajikan salah satu dongeng.
Dalam Mitologi Batak burung layang-layang, berkedudukan seperti kurir atau penghubung antara penghuni langit dengan bumi. Suatu ketika, burung itu di panggil oleh Mulajadi Na Balon, sang Awal Yang Maha Besar yang berkuasa atas segala yang ada, untuk mengantarkan sebuah lodong (poting, bamboo tabung air) berisi benih kepada Boru Deak-Parujar, putri seorang dewa yang berada di bumi. Setelah burung itu tiba di tmpat Boru Deak, dia berkata : “Boru Deak-Parujar, tenunlah sehelai ulos ragidup (kain adat Batak), kemudian lilitkan ulos itu pada lodong itu lalu bukalah tutup nya. “Setelah Boru Deak-Parujar menenun sehelai ulos, dia melilitkan pada lodong itu kemudian dia buka tutupnyadan dari dalamnya meloncatlah keluar seorang pria. Dialah yang disebut Tuan Mulana (yang awal). Boru Deak menempatkan pria itu disebuah daerah yang terang, lalu dia menyuruh burung itu kembali kepada Mulajadi Na Bolon untuk menyampaikan pertanyaan Boru Deak yang oleh Mulajadi dijawab, “Boru Deak sendirilah yang akan menjadi teman hidupnya !” Dan mulai saat itu Boru Deak-Parujar menjadi seorang manusia seperti Tuan Mulana. Merekalah yang menjadi nenek-moyang Orang Batak di atas dunia ini.
Dari cerita tersebut dapat disimpulkan, bahwa suku Batak di zaman keberhalaan sudah percaya pada Tuhan Yang Esa, yang disebut Mulajadi Na Bolon, yang menjadi awal dari segala yang ada; Dialah Yang Mahatinggi, Tuhan yang oleh suku Batak di percaya sebagai Tuhan dari segala ilahi yang menjadikan langit, bumi dan segala isinya, yang secara terus-menerus memelihara hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar