Sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Phill Ichwan
Azhari menyampaikan hasil penelitiannya di Jerman terkait etimologi (asal-usul
kata) dan genealogi (asal-usul garis turunan) Batak. Simpulan Ichwan: Batak
bukan berasal dari Batak sendiri, tapi dikonstruksi para musafir barat dan
dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an.
Benarkah demikian?
Ilmuwan Batak yang juga Guru Besar Departemen Sejarah Unimed
Prof Bungaran A Simanjuntak sedikit ‘gerah’ dengan publikasi Ichwan itu.
Menurut Bungaran, tak perlu terlalu meyakini arsip-arsip di Jerman. “Belum
tentu arsip-arsip di sana merupakan arsip yang valid, perlu dikonfirmasi ulang.
Saya rasa kita tidak perlu terlalu menghebat-hebatkan arsip yang ada di sana,”
katanya via telepon seluler, Kamis (18/11) lalu. Bungaran menegaskan, asal-usul
nama etnik Batak merupakan hasil dari budaya maupun sejarah di Sumut. “Batak
merupakan satu kata dari bahasa Batak sendiri yang artinya penunggang kuda.
Dari sisi inilah nama Batak ini muncul. Nama ini sudah sejak lama ada,”
katanya.
Menurutnya, etnis Batak merupakan ras Mongolia Mansuria.
“Awalnya kurang lebih 5000 tahun lalu, tentara Mongol berperang dengan bangsa
Tar-tar, terpojok dan kemudian lari menuju Indonesia Bagian Timur melalui
China. Para tentara Mongol ini pada saat itu mengendarai kuda, dan masyarakat
di daerah Indonesia Bagian Timur (saat itu belum beretnis Batak) menamai
tentara Mongol ini dengan ’Batak.’ Itulah awal nama etnik Batak,” tutur Bungaran.
Bukan Hal Baru
Bagi sebagian orang, hasil penelitian Ichwan itu mungkin
mengejutkan. Tapi bagi sebagian lain, ini polemik yang sudah ‘basi’, sebab
sudah sejak awal abad ke-20 pengertian dan asal kata Batak dipolemikkan.
Sebutan atau perkataan Batak sebagai nama satu etnis di Indonesia, misalnya,
sudah dibicarakan dalam beberapa penerbitan surat kabar pada tahun 1900-an.
Sejumlah penulis ketika itu sudah berdebat, apa sesungguhnya pengertian kata
(nama) Batak dan dari mana asal muasal kata itu?
Di suratkabar Pewarta Deli No. 82 tahun 1919, misalnya, polemik terjadi antara seorang penulis yang memakai nama samaran “Batak na so Tarporso” dengan J Simanjutak. Polemik yang sama terjadi di suratkabar keliling mingguan yang diterbitkan HKBP pada edisi tahun 1919 dan 1920. Seorang penulis memakai inisial “JS” dalam tulisan pendeknya di suratkabar Immanuel edisi 17 Agustus 1919, akhirnya tampil sebagai penengah di antara silang pendapat yang ada. JS mengutip buku berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra” karangan Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1903, ada halaman 64 menulis:
Di suratkabar Pewarta Deli No. 82 tahun 1919, misalnya, polemik terjadi antara seorang penulis yang memakai nama samaran “Batak na so Tarporso” dengan J Simanjutak. Polemik yang sama terjadi di suratkabar keliling mingguan yang diterbitkan HKBP pada edisi tahun 1919 dan 1920. Seorang penulis memakai inisial “JS” dalam tulisan pendeknya di suratkabar Immanuel edisi 17 Agustus 1919, akhirnya tampil sebagai penengah di antara silang pendapat yang ada. JS mengutip buku berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra” karangan Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1903, ada halaman 64 menulis:
“Adapoen bangsa
yang mendoedoeki residentie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanya. Adapoen
kata “Batak” itoe pengertiannya : oerang pandai berkuda. Masih ada kata Batak
yang terpakai, jaitoe “mamatak”, yang artinya menaiki koeda. Kemoedian hari
orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki (plesetan) kepada bangsa itoe…”
Berdasarkan
sejumlah referensi, umumnya kata Batak menyiratkan defenisi tentang keberanian
atau keperkasaan. Menurut Ambrosius Hutabarat dalam catatannya di suratkabar
Bintang Batak tahun 1938, pengertian Batak adalah orang yang mahir menaiki
kuda, memberi gambaran pula bahwa suku itu dikenal sebagai suku yang berjiwa
keras, berani, perkasa. Kuda merupakan perlambang kejantanan, keberanian di
medan perang, atau kegagahan menghadapi bahaya/rintangan.
Bahkan, salah seorang pemikir Batak ketika itu, Drs. DJ.
Gultom Raja Marpodang menulis teori bahwa suku Batak adalah sai-Batak Hoda yang
artinya suku pemacu kuda. Asal-usul suku Batak berdasarkan teori adalah
pendatang dari Hindia Belanda (sekitar Asia Tenggara sekarang), masuk ke pulau
Sumatera pada masa perpindahan bangsa-bangsa di Asia. Drs DJ Gultom bahkan bersusah payah melakukan
serangkaian penyelidikan intensif seputar arti kata Batak dengan membaca
sejarah, legenda, mitologi, termasuk wawancara dengan orang-orang tua,
budayawan dan tokoh adat.
Beberapa perkataan “batak” antara lain ditemukan dalam
hampir seluruh bahasa sub etnis Batak mulai Pak-pak, Karo, Simalungun,
Mandailing dan Toba, yang pada umumnya bermakna heroik, tidak negatif. Berbagai
penjelasan itu disampaikan untuk meluruskan anggapan seolah-olah ‘Batak’ adalah
suatu aliran/kepercayaan tentang suatu agama yang dikembangkan pihak tertentu
mendiskreditkan citra orang Batak ketika itu.
Namun dalam pemeriksaan Ichwan terhadap arsip-arsip di
Jerman, penelusuran data di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies)
di Belanda, sama sekali tidak ada penjelasan tentang defenisi Batak sebagai
penunggang kuda, yang kemudian diplesetkan sehingga menjadi sangat peyoratif
terhadap identitas kebatakan.
Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik, memang ditemukan
kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk
penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Tidak hanya di
Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan
streotip atau label negatif sebagai Batak. Tak mengherankan peneliti Batak asal
Belanda bernama Van der Tuuk, pernah risau dan mengingatkan para misionaris
Jerman agar tidak menggunakan Batak untuk nama etnik karena imej negatif pada
kata itu.
“Di
Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan
label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu
terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang
memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu,” katanya.
Dalam
peta-peta kuno itu, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich
Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn
dibuat. kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya
hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung,
Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu
peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan
Minangkabau.
Bermula dari Daniel Perret
Bermula dari Daniel Perret
Menurut
salah seorang pengamat Kebatakan, Thompson Hs, penelitian Ichwan Azhari itu
terkait dengan isu tentang Batak yang dilontarkan Daniel Perret dalam bukunya
berjudul Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut.
Buku tersebut sudah diseminarkan oleh PUSSIS pimpinan Ichwan Azhari sendiri. Dalam
buku Daniel Perret, semua istilah Batak dicatat dalam tanda petik dan
identifikasi “batak” dalam setting kolonial waktu itu merupakan bagian dari
dikotomi antara melayu yang dianggap beradab melalui kesultanan dan
keislamannya dan posisi orang-orang “batak” yang belum menganut Islam yang
dianggap stereotip dari orang-orang yang tidak beradab. “Peta dikotomi ini saya kira yang ingin
diungkapkan kembali oleh Ichwan Azhari tanpa mengungkap posisi Melayu di
Sumatera Utara. Kita tunggu saja sambungan penelitiannya,” ujar Thompson. Menurut Thompson, hasil penelitian Ichwan itu
juga terkait dengan kepentingan isu Batak yang diperdebatkan lagi oleh sebagian
orang Karo belakangan ini. Dalam sebuah diskusi di Padangbulan baru-baru ini,
identitas Karo dalam kaitannya dengan Batak, kembali digugat. Gugatan muncul
dari seorang antroplog Karo, Juara Ginting. Juara mempertanyakan kembali latarbelakang
kata Batak disematkan pada suku Karo. Menurut Juara, tak ada kaitan antara
Batak dengan Karo. Juara tak setuju jika Karo dianggap Batak, sebab Karo punya
standar adat-istiadat yang mandiri. Kalaupun ada kemiripan tidak bisa langsung
diklaim, harus dilihat dari banyak sisi.
“Tentu saja orang Karo tidak harus menjadi Batak. Itulah mungkin dasar lain di samping argumen Juara Rimanta Ginting yang mengambil catatan-catatan lama secara umum. Lalu orang Toba sendiri juga bisa juga menganggap dirinya bukan orang Batak. Mamun masalahnya bukan di situ,” kata Thompson. Masyarakat Mandailing juga menolak disebut Batak. Sebab Mandailing sudah diketahui sejak abad ke-14, menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing. Nama Mandailing tercatat dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M.
Tapi ‘Batak’ sama sekali tidak disebut dalam kitab tersebut. Nama Batak itu sendiri tidak diketahui asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun. Saat Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu, mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, tapi juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Belandalah yang kemudian membatakkan bangsa/umat Mandailing dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administrative Belanda.
“Tentu saja orang Karo tidak harus menjadi Batak. Itulah mungkin dasar lain di samping argumen Juara Rimanta Ginting yang mengambil catatan-catatan lama secara umum. Lalu orang Toba sendiri juga bisa juga menganggap dirinya bukan orang Batak. Mamun masalahnya bukan di situ,” kata Thompson. Masyarakat Mandailing juga menolak disebut Batak. Sebab Mandailing sudah diketahui sejak abad ke-14, menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing. Nama Mandailing tercatat dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M.
Tapi ‘Batak’ sama sekali tidak disebut dalam kitab tersebut. Nama Batak itu sendiri tidak diketahui asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun. Saat Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu, mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, tapi juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Belandalah yang kemudian membatakkan bangsa/umat Mandailing dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administrative Belanda.
Kembali ke hasil penelitian Ichwan. Menurutnya, konsep Batak
dari misionaris Jerman semula digunakan kelompok masyarakat di kawasan Tapanuli
Utara, tapi lebih lanjut dipakai Belanda menguatkan cengekraman ideologi
kolonial. Perlahan-lahan konsep Batak itu meluas dipakai Belanda termasuk sebagai
pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda
kemudian merumuskan konsep sub suku batak dalam antropologi kolonial yang
membagi etnik Batak dalam beberapa sub suku seperti sub suku Batak Toba, Batak
Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pak Pak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar